Senin, 10 Februari 2014

Menjadi Ketua



Waktu kuliah ini, aku ga pernah jadi ketua. Paling tinggi, aku berada sebagai wakil ketua, koordinator divisi yang mendukung ketua. Aku memang kadang mencela kinerja ketuaku dalam hati, “seharusnya begini…seharusnya begitu…”, tapi ketika giliran aku yang jadi ketua?

Aku mempunyai sikap yang sulit memutuskan. Aku bukan pribadi yang tegas. Aku selalu bertanya pada anggotaku, atau atasanku bila mengambil keputusan. Karena aku ga tau yang terbaik. Ini karena aku dari kecil sudah dibiasakan semuanya diatur oleh mama. Bahkan ketika dititipi barang untuk belanja pun, aku pasti sudah dipikirkan rute detailnya supaya aku tinggal lakuin aja. Bukan karena mamaku salah, mama hanya ga tau harusnya gimana, Ia mendidikku dengan memberikan yang terbaik untukku. Semuanya meski harus mengorbankan dirinya. Makanya ia memikirkan semuanya. Ia memberikan cinta yang penuh, sepenuh hidupnya demi tanggung jawab membesarkanku. Maka hal itu juga tercermin dari sikapku, ketika aku diberi tanggung jawab, aku akan berikan semuanya yang aku bisa.

Dan ini aku ditawari untuk jadi ketua retret untuk sma 5 perwakilan dari BPKnya. Aku merasa aku diproses banyak lewat retret ini. Aku didampingi 1 orang kakak senior yang ga bisa datang waktu hr H, tapi bersedia membantu selama persiapannya. Dan aku didampingi kakak senior lain pada waktu hari H. 2 kakak senior ini memiliki karakter yang berbeda. Yang satunya bersedia membantuku sepenuhnya. Setiap aku bertanya dijawab. Setiap aku minta tolong dibantu. Setiap aku dihadapkan dengan pilihan yang harus kulakukan, dia membantuku memutuskan. Dia selalu mengingatkanku, dan memberi tahukan apa saja yang harus kulakukan. Sedangkan kakak satunya, juga sangat membantuku waktu hari H, tapi dengan cara yang berbeda. Dia selalu memintaku untuk memutuskan. Memberi gambaran yang terjadi pada keseluruhannya, lalu aku harus merealisasikannya yang menurutku benar, dan menanggung konsekuensi postif dan negatifnya. Dia membuatku sebagai seorang Ketua, tapi aku tau dia membackingku dari belakang.

Aku selalu merasa, kelebihanku bukan sebagai ketua. Aku ini lebih suka melayani secara personal. Aku pribadi pemikir, tapi pemikir pendukung dibelakang, bukan pelaksana. Makanya kadang, aku ingin mencari suami yang benar sebagai pemimpin, lalu aku akan membackingnya. Ketika aku tau sumber masalahnya yang banyak, aku suka yang menjadi salah satu orang yang terjun langsung membantu menyelesaikan salah satunya. Prinsipku aku akan berikan yang terbaik, meski hal itu hal kecil. Karena aku yakin dari hal kecil yang aku lakukan, bisa membantu menyelesaikan hal besar yang ditanggung.

Dari kelebihanku itu, aku merasa, aku diproses banyak dalam retret ini. Memang yang aku lakukan selama ini itu baik, tapi aku harus terus mengembangkan yang baik. Karena Tuhan menginginkan aku untuk selalu bertumbuh dan berbuah. Inilah pelajaran-pelajaran yang aku dapatkan :

  1. Ketika aku jadi anggota, aku suka ketika akupun dilibatkan, ga cuma ketua semua. Tapi ketika jadi ketua, aku merasa sungkan ketika aku harus minta tolong. Ada hal-hal negatif berkecamuk dikepalaku, “lah lek di bantu mereka, ketua e lak cuma mau e enak-enakan”, “mereka sudah masuk kuliah, banyak yang harus dikerjakan, jangan membebani mereka”, dsb. jadi membuatku harus tau waktu. Aku bekerja, mereka pun harus bekerja.
  2. Aku cukup shocked ketika hapeku bunyi waktu doa yesus. Aku merasa banyak hal berkecamuk dikepalaku. Aku ntar klo di pandang rendah gimana? Gimana ini.. udalah gapapa… lagian itu ga sengaja, hape ku bunyi karena hapeku rada eror, kadang bunyi, kadang ga. Makanya aku ga silent. Lagian itu telp dari ce olip. Aku kan cpnya, harusnya khusus aku kan gapapa. Haruskah aku mengakui salahku? Nah aku belajar, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau mengakui kesalahannya dan memperbaikinya. Pemimpin bukan berarti selalu benar.
  3. Jadi ketua itu merepotkan banyak orang. Aku sungkan karena ngerepoti suster terus, sama romonya juga. Aku Tanya-tanya terus ke mereka.  (ini karena ceritanya, anggotaku Cuma sedikit, yang awalnya merasa kebanyakan). Hal itu sudah biasa sih, selama masih dalam batas normal.
  4. Aku bersyukur karena ada anggotaku, aku memiliki anggota yang hebat. Aku punya pemusik seperti kak Yossi, aku punya fas yang hebat, dan berpengalaman. Aku punya ce nadia, mc yang supel dan baik hati. Aku punya ce olip juga yang cepet memutuskan. Aku punya pembicara yang bagus dan ga bikin ngantuk. Anggota yang berkualitas ini, harus dimunculkan bakat mereka di tempat dan waktu yang tepat. Sebagai ketua, harus kasih motivasi agar mereka mau kasih yang terbaik.
  5. Jadi ketua itu juga harus membicarakan hal positif. Bukan membicarakan hal negatif. Bahkan ketika rapat, harus diangkat juga hal positifnya. Hal positif itu membangun sukacita panitia. Ini pengalamanku di retret sebelumnya, yang senior2nya bilang bahwa merasakan roh kudus yang boleh turun atas kita. Itu membuatku, sebagai anggota panitia baru menyadari ada roh kudus di tengah kita, dan membuatku mengerti ternyata pelayananku ini menghasilkan buah.
  6. Harus kasih penjelasan detail dan jelas. Memikirkan detailnya. Karena bila bilang dipikirkan besok, maka pasti ada yang miss.
  7. Aku belajar, semua orang pernah bikin kesalahan. Jadi aku harus bisa menerima diriku ketika aku berbuat salah. Aku harus mengakuinya dan meminta maaf, lalu memperbaikinya, bukan menyesalinya. Menurutku bahkan ce olip pun juga agak salah masuk ketika dia mengangkat PRK. Tapi kesalahan itu ga akan jadi masalah dan dipeributkan, karena ce olip lebih banyak melakukan hal yang baik dan benar. Karena masalah kecil itu ga akan jadi masalah besar, ketika kita bahu membahu menutupinya.
  8. Harus memutuskan dengan cepat, dan mampu mengokomunikasikannya kepada semua yang terlibat. Intinya, yang penting nyampai. Kadang di otakku itu banyak banget hal yang ku pikirkan, tapi kadang hanya sebatas di pikiranku. Orang-orang gda yang bisa baca pikiranku!
  9. Jadi ketua harus tanggap sampai akhir acara. Menyingkirkan perasaan negative dalam waktu cepat, dan tetap focus. Karena di akhir acara, ada beberapa yang miss, aku merasa terhakimi. Ada beberapa hal yang membuatku ingin menangis. Ketika anggotaku ngobrol dengan anak-anakNya, aku merasa sendiri. Gurunya juga kelihatannya agak ga enak ngeliatin aku. Dan ada yang bernada keras ke aku, meski aku tau itu ga bermaksud gitu, karena dia meralatnya dengan tertawa. Lalu juga aku merasa lebih kecil dari anak-anak sma itu. Aku merasa gagal membuat semuanya sukacita. Aku membuat anggotaku merasa lelah. Banyak banget penghakiman yang muncul dari dalam diriku, yang membuatku ga fokus lagi. Aku merasa takut. Tapi aku mencoba terus berdiri tegar. Memaksakan ngobrol dengan orang lain, atau tersenyum, atau tertawa. Aku meminta pertolongan pada Tuhan. Dan aku berharap agar aku cepet mempunyai waktu untuk tenang, waktu untuk sendiri, dan memulihkan diriku. Tapi ternyata, celah itu ! membuatku lupa untuk ngecek semunaya. Lupa untuk menjalankan tugasku! Aku lupa untuk ngecek apa LCDnya sudah ku bawa?
  10. Peka-pekalah terhadap suara Tuhan. Aku ini hamba Tuhan, ketika bertanya Tuhan pasti jawab, dengan banyak hal. Suara hati, orang-orang disekitar, lingkungan, dsb. Maka dari itu, biasakan untuk peka.

Apapun yang terjadi adalah proses belajar. Ketika kamu merasa semuanya sudah berjalan baik, maka belajar untuk jadi rendah hati. Ketika semuanya berjalan buruk, maka belajarlah untuk menerima kesalahan dan memperbaikinya dilain kesempatan.